Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan

Kesehatan Komprehensif: Hak Korban Bukan Sekedar Retorika

Realita Pahit Korban Kekerasan Seksual

Isu kekerasan seksual masih menjadi polemik tersendiri bagi Indonesia. Kasus kekerasan seksual seperti pencabulan anak-anak oleh aparat, pelecehan seksual di institusi pendidikan, ataupun pemerkosaan oleh anggota keluarga sering menjadi headline di surat kabar. Berita tersebut bahkan tak lagi menjadi kejutan, seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Sayangnya, alih-alih mendapat empati dan keadilan, komentar victim-blaming justru lebih banyak memenuhi thread viral yang membahas insiden tersebut.

Meskipun tidak terbatas pada gender, korban kekerasan seksual masih didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Menurut Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), dari 14.459 laporan kekerasan seksual di tahun 2024, 92% korban adalah perempuan. Dari total tersebut, 81% korban masih dibawah umur. Angka ini sudah seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengupayakan perlindungan yang lebih baik terutama bagi kelompok rentan.

Lebih dari sekedar keadilan hukum, penanganan kasus kekerasan seksual melalui pendekatan yang berorientasi pada kesehatan juga perlu menjadi prioritas, menjamin korban mendapatkan hak fundamental mereka untuk pulih secara holistik agar mampu kembali menjalani kehidupan yang mandiri, aman, dan bermartabat. Ironisnya, masih banyak korban yang tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga sulit mengakses layanan kesehatan yang layak untuk pemulihan mereka. Mereka kerap terbentur dengan rumitnya birokrasi, ketidakadilan hukum, stigma sosial, minimnya penyedia layanan kesehatan, hingga trauma berkepanjangan. Korban seakan dibungkam hingga akhirnya kehilangan hak-hak dasar mereka.

Kesehatan Komprehensif Bukan Sekedar Janji

Kekekerasan seksual tidak hanya berdampak pada luka fisik, tetapi juga mental dan sosial korban. Mereka berisiko mengalami penyakit menular seksual (PMS) hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Trauma yang berkepanjangan juga membuat korban lebih rentan terhadap perilaku berisiko seperti self-harm dan penyalahgunaan obat terlarang. Selain itu, minimnya dukungan sosial yang memihak korban dapat semakin memperburuk keadaan. Mengetahui hal tersebut, kebutuhan akan pemulihan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual menjadi urgensi yang tidak terelakkan. Tanpa pemulihan yang layak, korban hanya akan terluka untuk kedua kalinya.

Ilustrasi pelayanan kesehatan komprehensif

Pemulihan korban akibat kekerasan seksual merupakan hak mutlak sebagai wujud komitmen negara terhadap hak asasi manusia, bahkan sejak awal terjadinya tindakan kekerasan. Pemenuhan hak tersebut termasuk kemudahan akses terhadap layanan kesehatan komprehensif yang mencakup rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi, dan reintegrasi sosial Selain mengobati luka fisik dan mencegah komplikasi lebih lanjut, layanan tersebut juga berperan dalam mengembalikan kesejahteraan mental dan sosial sehingga korban mampu menjalani hidupnya secara optimal. Edukasi dan pendampingan juga menjadi aspek penting dalam membantu reintegrasi sosial korban dan mencegah kejadian serupa terulang kembali.

Meski hak pemulihan korban kekerasan seksual telah diatur dalam hukum nasional, implementasinya masih jauh dari ideal. Data KemenPPA menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan pada jumlah korban dalam mengakses layanan yang diberikan, hanya 25% korban mendapat layanan kesehatan, 3% rehabilitasi sosial, dan 1% reintegrasi sosial. Statistik ini menggambarkan masih buruknya akses korban terhadap hak-hak mereka. Hal tersebut juga mencerminkan kegagalan sistem dalam melindungi korban dari dampak berkepanjangan yang diakibatkan oleh kekerasan seksual.

Kebijakan tanpa implementasi yang efektif dan optimal hanya akan menjadi wacana tanpa memberikan dampak nyata terhadap korban. Masih minimnya tenaga kesehatan dan hukum yang memahami pendekatan kekerasan berbasis gender, persebaran penyedia layanan yang tidak merata, dan disintegrasi antar lembaga menjadi tantangan dalam menyediakan layanan yang tepat bagi korban. Selain itu, prasangka dan stigma sosial juga turut menjadi hambatan besar yang membuat korban enggan mencari bantuan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pendekatan dari berbagai aspek yang telibat: mengadakan pelatihan guna memperbanyak tenaga professional yang responsif terhadap korban, memperkuat sinergi dan koordinasi antara pemerintah, lembaga masyarakat, dan penyedia layanan termasuk layanan kesehatan, sosial, hukum. Sistem yang adil, inklusif, dan benar-benar memberdayakan korban harus dibuat guna mendukung upaya pemulihan yang efektif dan berkelanjutan.

Pemerintah, melalui kebijakan yang dibuat, bertanggungjawab dalam mengupayakan layanan pemulihan yang mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi atau syarat yang membebani. Namun, peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang ramah bagi korban juga turut berperan besar dalam keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Tanpa langkah nyata, hak korban hanya akan bertahan sebagai dokumen semata. Dengan upaya bersama dari pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat, hak-hak korban kekerasan seksual bukan lagi sekedar retorika, melainkan sebuah komitmen yang terwujud dalam kebijakan dan tindakan yang nyata.

Hari Tuberkulosis Sedunia 2025: Bersama Mengakhiri TB untuk Generasi Sehat

Hari Tuberkulosis Sedunia 2025: Bersama Mengakhiri TB untuk Generasi Sehat

Setiap tanggal 24 Maret, dunia memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia sebagai upaya meningkatkan kesadaran global tentang penyakit tuberkulosis (TB). Tahun 2025, tema yang diusung adalah "Bersama Mengakhiri TB untuk Generasi Sehat", menekankan pentingnya kolaborasi antar sektor dalam mencapai eliminasi TB sesuai target WHO pada tahun 2030.

Illustration world's collaboration in tackling tuberculosis

Kondisi Global Tuberkulosis

Menurut Laporan Global Tuberkulosis 2024 yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat beberapa perkembangan penting terkait epidemi TB di dunia:

  • Jumlah Kasus Baru: Pada tahun 2023, sekitar 10,8 juta orang di seluruh dunia terdiagnosis TB, menunjukkan stabilisasi setelah peningkatan kasus yang dipicu oleh pandemi COVID-19.
  • Tingkat Kematian: TB tetap menjadi penyakit infeksi paling mematikan, dengan 1,25 juta kematian pada tahun 2023.
  • Negara dengan Beban Tertinggi: Delapan negara menyumbang lebih dari dua pertiga kasus TB global, yaitu India, Indonesia, Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Republik Demokratik Kongo.
  • Anak-anak Terinfeksi: Di Eropa, kasus TB pada anak-anak di bawah 15 tahun meningkat 10% dalam setahun terakhir, dengan anak-anak di bawah lima tahun paling berisiko.

Laporan ini juga menyoroti tantangan seperti resistensi obat, kurangnya pendanaan, dan dampak pandemi COVID-19 terhadap layanan TB. Namun, ada harapan dengan stabilisasi jumlah kasus dan penurunan angka kematian, menunjukkan efektivitas upaya global dalam penanggulangan TB.

Tantangan dalam Eliminasi TB

Beberapa tantangan utama dalam pemberantasan TB meliputi:

  • Kurangnya Akses ke Layanan Kesehatan: Banyak pasien TB yang belum mendapatkan diagnosis dan pengobatan tepat waktu.
  • Stigma dan Diskriminasi: Banyak penderita TB yang menghadapi stigma sosial, menghambat mereka untuk mencari pengobatan.
  • Resistensi Obat: TB yang resistan terhadap obat (MDR-TB) semakin meningkat, membuat pengobatan lebih sulit dan mahal.
  • Kurangnya Pendanaan: Investasi dalam penelitian dan pengembangan vaksin serta pengobatan masih belum mencukupi.

Langkah Nyata untuk Mengakhiri TB

Untuk mencapai eliminasi TB, dibutuhkan upaya nyata dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, tenaga medis, organisasi non-pemerintah, serta masyarakat umum. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  • Advokasi Kebijakan Kesehatan yang Lebih Baik Pemerintah harus memperkuat sistem kesehatan dengan meningkatkan pendanaan untuk deteksi dini, pengobatan, serta program edukasi masyarakat. Selain itu, kebijakan yang mendukung pasien TB dalam akses pengobatan dan perawatan harus terus diperjuangkan.
  • Peningkatan Kesadaran Masyarakat. Masyarakat perlu memahami bahwa TB bukanlah penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Edukasi mengenai gejala TB, cara penularan, dan pentingnya kepatuhan pengobatan harus terus digalakkan melalui kampanye kesehatan di media sosial, seminar, dan program komunitas.
  • Inovasi dalam Deteksi dan Pengobatan. Penelitian dan pengembangan vaksin serta terapi terbaru harus menjadi prioritas. Teknologi seperti tes diagnostik cepat dan pengobatan berbasis pendekatan individual perlu dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas pengobatan TB.
  • Penguatan Kolaborasi Internasional. TB adalah masalah global yang memerlukan solusi global. Kolaborasi antar negara dalam berbagi data, penelitian, dan sumber daya sangat penting dalam mempercepat eliminasi TB.

Peran Kita dalam Peringatan Hari TB Sedunia 2025

Sebagai individu, kita juga dapat berkontribusi dalam upaya mengakhiri TB dengan cara:

  • Menyebarkan informasi yang benar tentang TB kepada keluarga dan teman.
  • Mendukung kebijakan kesehatan yang berpihak pada eliminasi TB.
  • Mendorong penderita TB untuk menjalani pengobatan dengan benar dan tidak menghentikan terapi sebelum selesai.
  • Menghindari stigma terhadap penderita TB dan memberikan dukungan sosial yang mereka butuhkan.

Hari Tuberkulosis Sedunia 2025 adalah momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan aksi nyata dalam mengakhiri TB. Dengan advokasi yang kuat, peningkatan layanan kesehatan, serta dukungan masyarakat, kita dapat mewujudkan dunia bebas TB untuk generasi mendatang. Saatnya bertindak sekarang, karena setiap langkah kecil dapat membawa perubahan besar dalam perjuangan melawan TB. Dengan pendekatan kolaboratif, mari kita wujudkan dunia yang lebih sehat dan bebas TB! 

Dampak Kulit Kering terhadap Munculnya Jerawat: Penyebab dan Cara Mengatasinya

Kulit kering sering kali dianggap sebagai masalah yang terpisah dari jerawat. Namun, banyak orang tidak menyadari bahwa kulit yang terlalu kering justru dapat memicu munculnya jerawat. Kondisi ini terjadi karena berbagai faktor, mulai dari gangguan keseimbangan minyak alami kulit hingga peradangan yang berlebihan. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana kulit kering dapat menyebabkan jerawat serta cara mengatasinya secara efektif.  

Kulit kering penyebab jerawat


Hubungan Antara Kulit Kering dan Jerawat

Sebagian besar orang menganggap bahwa jerawat hanya disebabkan oleh kulit berminyak. Faktanya, kulit kering juga bisa menjadi pemicu utama munculnya jerawat. Berikut beberapa alasan mengapa kulit kering dapat menyebabkan jerawat: 

1. Produksi Minyak Berlebihan Akibat Kulit Kering

Ketika kulit terlalu kering, tubuh secara alami akan merespons dengan meningkatkan produksi sebum (minyak alami kulit). Produksi minyak yang berlebihan ini dapat menyumbat pori-pori dan menyebabkan komedo serta peradangan, yang akhirnya berujung pada jerawat.  

2. Gangguan Skin Barrier dan Peradangan

Kulit kering sering kali mengalami kerusakan pada skin barrier (lapisan pelindung kulit). Ketika skin barrier terganggu, bakteri dan kotoran lebih mudah masuk ke dalam pori-pori, meningkatkan risiko peradangan dan infeksi yang memicu jerawat.  

3. Penggunaan Produk Perawatan yang Tidak Tepat

Banyak orang dengan kulit kering menggunakan produk pembersih wajah yang terlalu keras atau mengandung alkohol, yang justru memperparah kondisi kulit. Produk ini dapat menghilangkan minyak alami kulit secara berlebihan, sehingga kulit semakin kering dan lebih rentan terhadap jerawat.  

4. Penumpukan Sel Kulit Mati

Kulit kering cenderung mengalami penumpukan sel kulit mati yang tidak terangkat dengan baik. Sel-sel mati ini dapat menyumbat pori-pori dan menjadi tempat berkembangnya bakteri penyebab jerawat.  

Cara Mengatasi Kulit Kering dan Mencegah Jerawat

Untuk mencegah dan mengatasi jerawat yang disebabkan oleh kulit kering, penting untuk menjaga keseimbangan kelembapan kulit. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan:  

1. Gunakan Pelembap yang Tepat

Pilih pelembap yang mengandung bahan-bahan seperti hyaluronic acid, ceramide, atau glycerin yang dapat membantu menjaga kelembapan kulit tanpa menyumbat pori-pori.  

2. Hindari Pembersih Wajah yang Terlalu Keras

Gunakan pembersih wajah yang lembut dan bebas alkohol untuk menjaga kelembapan alami kulit. Pilih produk yang mengandung bahan seperti aloe vera atau chamomile untuk menenangkan kulit.  

3. Konsumsi Air yang Cukup

Hidrasi dari dalam sangat penting untuk menjaga kelembapan kulit. Pastikan Anda minum air yang cukup setiap hari agar kulit tetap sehat dan terhidrasi.  

4. Gunakan Eksfoliasi yang Lembut

Eksfoliasi diperlukan untuk mengangkat sel kulit mati, tetapi jangan terlalu sering melakukannya. Gunakan eksfoliator berbahan lembut seperti lactic acid atau PHA (polyhydroxy acid) agar kulit tidak semakin kering.  

5. Hindari Paparan AC dan Cuaca Ekstrem Secara Berlebihan

AC dan udara dingin dapat membuat kulit semakin kering. Jika memungkinkan, gunakan humidifier di ruangan atau aplikasikan pelembap lebih sering untuk melindungi kulit.  

6. Gunakan Sunscreen Setiap Hari

Paparan sinar matahari dapat memperburuk kondisi kulit kering dan merusak skin barrier. Pilih sunscreen dengan SPF minimal 30 yang juga memiliki kandungan pelembap untuk perlindungan maksimal.  


Kulit kering bukan hanya menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi juga dapat menjadi pemicu jerawat akibat produksi minyak berlebih, gangguan skin barrier, dan penumpukan sel kulit mati. Oleh karena itu, menjaga kelembapan kulit dengan cara yang tepat sangat penting untuk mencegah jerawat. Dengan perawatan yang sesuai, kulit dapat tetap sehat, terhidrasi, dan bebas dari jerawat.

Kasus Diabetes Anak di Indonesia Melonjak 70 Kali Lipat, Waspada dan Cegah Sejak Dini!

Baru-baru ini, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan adanya pelonjakan kasus diabetes melitus tipe-1 pada anak berusia < 18 tahun hampir 70 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Sebanyak 1.645 kasus tercatat dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan persentase kasus sebanyak 19% (usia 0-4 tahun), 31.05% (usia 5-9 tahun), 46.23% (usia 10-14 tahun), dan 3% (usia > 14 tahun). Prevalensi kasus tersebut menjadikan Indonesia menempati peringkat pertama dalam daftar negara yang memiliki jumlah penderita diabetes tipe-1 terbanyak, mengalahkan negara ASEAN yang lainnya. 

Diabetes Melitus (DM) atau sering dikenal dengan penyakit gula oleh masyarakat awam adalah salah satu jenis Penyakit Tidak Menular (PTM). Kondisi diabetes mengakibatkan kadar gula dalam tubuh meningkat secara signifikan karena insulin yang terganggu. Insulin merupakan salah satu hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas dan berfungsi mengatur kadar gula darah dengan cara membantu penyerapan glukosa oleh sel-sel tubuh.

Diabetes pada anak

Diabetes dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

Diabetes Melitus (DM tipe-1)

DM tipe-1 dapat terjadi karena kelenjar pankreas yang rusak akibat kondisi autoimun atau faktor genetik. Kerusakan pankreas menyebabkan sel-sel pankreas tidak mampu memproduksi insulin. DM tipe-1 lebih sering ditemukan pada anak-anak atau orang yang lebih muda. Ketidakmampuan pankreas untuk memproduksi insulin mengharuskan penderita DM tipe-1 mendapatkan insulin dari luar (eksogen) untuk membantu regulasi gula darah. Tanpa insulin, orang dengan DM tipe-1 dapat mengalami kondisi yang berbahaya seperti hiperglikemia berat (Ketoacidosis Diabetic (KAD) atau Hyperosmolar Hyperglicemic State (HHS)) dan hipoglikemia. 

Diabetes Melitus (DM tipe-2)

DM tipe-2 berbeda dengan DM tipe-1. Disaat sel pankreas DM tipe-1 sama sekali tidak mampu memproduksi insulin, pada DM tipe-2 insulin masih disekresi oleh pankreas meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit. Selain akibat produksi insulin yang menurun, DM tipe-1 juga dapat disebabkan oleh resistensi insulin di jaringan. Sel membutuhkan insulin untuk membuka gerbang transpor glukosa sehingga sel dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme. Resistensi insulin merupakan suatu kondisi dimana sel/jaringan tidak dapat mengenali insulin yang beredar di darah sehingga glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel. Dikarenakan pankreas pada penderita DM tipe-2 masih dapat memproduksi insulin, orang dengan DM tipe-2 tidak bergantung pada insulin eksogen semata melainkan mendapatkan obat diabetes sesuai dengan tingkat keparahannya.

Diabetes Gestasional

Diabetes gestasional merupakan suatu kondisi dimana kadar gula darah meningkat secara tidak normal yang disebabkan karena kehamilan dan akan kembali normal beberapa waktu setelah melahirkan.


Viral hMPV: Apakah Berbahaya Seperti COVID-19? Ini Faktanya!

 Beberapa waktu belakangan ini, publik kembali digencarkan dengan adanya informasi serangan virus baru yang di klaim memiliki gejala seperti virus COVID-19 yang menjadi pandemi global beberapa tahun silam. Virus tersebut dikenal dengan nama hMPV, Human MetapneumoVirus. Mirip seperti virus COVID, virus hMPV ini juga mulai muncul secara masif di China dan dikabarkan mulai ditemukan pula di beberapa negara seperti Indonesia dan India. Tentunya hal tersebut menjadi perhatian dan menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat. Lalu sebenarnya, apakah hMPV ini bisa memang berbahaya seperti COVID?

Virus hMPV sebenarnya bukan termasuk jenis virus baru. Virus ini telah ditemukan sejak tahun 2001 di Netherland. HMPV merupakan kelompok virus RNA dari family Pneumoviridae, seperti Respiratory Syncytal Virus (RSV), dan telah lama dikenal sebagai penyebab seasonal flu. HMPV menyebabkan infeksi saluran napas terutama anak-anak, lansia, dan orang-orang dengan penurunan sistem imun.

Gejala hMPV

Manifestasi klinis atau gejala yang dialami meliputi batuk, demam, hidung tersumbat, hingga napas terasa berat. Infeksi hMPV berlanjut dapat menunjukkan gejala seperti bronkitis atau pneumonia seperti gangguan saluran napas akibat infeksi virus lain. Masa inkubasi hMPV berkisar 3-6 hari dan dapat berlangsung selama beberapa hari-minggu tergantung tingkat keparahannya. Umumnya gejala hMPV akan mereda dengan sendirinya sering dengan meningkatnya sistem imun. 

Bagaimana hMPV bisa menyebar?

Sama seperti penyakit infeksi yang lain, orang sehat juga dapat tertular hMPV. Virus hMPV seringkali menyebar melalui kontak langsung dengan penderita, seperti:

  1. Droplet atau sekret dari batuk atau bersin
  2. Kontak langsung, misalnya menyentuh atau berjabat tangan
  3. Menyentuh benda atau permukaan yang terpapar virus, kemudian menyentuh mulut, mata, atau hidung
Pencegahan
Infeksi hMPV dapat dicegah dengan cara:
  • Mencuci tangan dengan sabun
  • Menjaga jarak dengan orang yang terjangkit virus
  • Menghindari menyentuh mata, mulut, atau hidung tanpa Mencuci tangan
  • Memakai masker
Bagi orang yang mengalami flu-like syndrome, dianjurkan untuk:
  • Menutup mulut saat batuk atau bersin
  • Mencuci tangan dengan sabun 
  • Memakai masker
  • Menghindari berbagi alat makan dan minum dengan orang lain.

RNA virus seperti hMPV berpotensi tinggi mengalami mutasi. Jadi, meskipun infeksi hMPV di klaim tidak berbahaya, alangkah baiknya untuk tetap menjaga kesehatan dengan menerapkan pola hidup sehat. 


Marak Kasus Anak Cuci Darah? Kenali Fakta, Penyebab dan Tandanya.

Beberapa waktu belakangan ini, publik digemparkan oleh berita viral tentang banyaknya kasus cuci darah pada anak-anak di RSCM, Jakarta.  Pihak rumah sakit pun telah meluruskan isu tersebut. Salah satu konsultan nefrologi anak, dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A (K) dalam wawancaranya bersama detik health menyatakan bahwa tidak terjadi pelonjakan kasus gagal ginjal anak di RSCM. Meskipun begitu, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan kekhawatiran orang tua terhadap kasus cuci darah yang bisa saja dialami oleh anak-anak mereka. 

Lalu, sebenarnya apa sih cuci darah itu? Dan mengapa orang harus melakukan cuci darah?

Cuci darah atau hemodialisa merupakan sebuah upaya perawatan yang dilakukan untuk membuang limbah atau racun dari tubuh orang yang memiliki fungsi ginjal yang buruk. Singkatnya, mesin hemodialisa berperan sebagai pengganti ginjal untuk:
  1. Menyaring darah sehingga toksin dan cairan berlebih di tubuh dapat dikeluarkan dengan maksimal. 
  2. Mempertahankan batas aman mineral seperti kalsium, potasium (kalium), bicarbonate, dan sodium di dalam tubuh.
  3. Membantu meregulasi tekanan darah
Dialisis dapat mempertahankan kondisi homeostasis (lingkungan internal yang stabil dan seimbang) pada orang-orang yang mengalami penurunan fungsi ginjal akut maupun kronis (gagal ginjal akut (AKI), gagal ginjal kronis (CKD)). 


Insidensi hemodialisa tergantung pada insidensi dan prevalensi acute kidney injury (AKI) dan chronic kidney disease (CKD). Kedua kondisi tersebut dapat disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Gaya hidup yang tidak sehat, misalnya konsumsi tinggi gula dan garam,
b. Penyakit infeksi, misalnya nephritis, leptospirosis,
c. Memiliki penyakit komorbid, misalnya diabetes, hipertensi,
d. Konsumsi obat-obatan yang sifatnya nefrotoksik.

Gagal ginjal yang membutuhkan hemodialisa seringkali tidak terjadi secara serta-merta. Umumnya terdapat beberapa gejala yang bisa menjadi tanda awal (early warning) terjadinya gagal ginjal, seperti produksi urin yang menurun (anuria), kaki/tangan bengkak, mudah lelah, dan sesak napas pada kondisi berat.

Efek Kronobiologi Pada Penderita Depresi

Depresi merupakan salah satu kelainan mental dan mempengaruhi hampir 15% populasi di dunia. Kondisi ini biasanya dikaitkan dengan pola tidur, diet, dan perubahan berat badan. Selain itu, depresi juga identik dnegan retardasi mental, gangguan konsentrasi, dan kelelahan. Depresi biasanya diobati dengan intervensi medis atau psikiatri, misalnya terapi dengan mirtazapine, fluoxetine, bupropion, dan venlafaxine. Terkadang, terapi antidepresan ini juga dikombinasi dengan pemberian terapi psikis sebagai langkah meningkatkan efek terapi. Seringkali depresi tidak ditangani dengan baik sehingga meningkatkan faktor resiko penyakit lain.

Depresi sering dicirikan dengan perubahan mood, makan, dan tidur. Perubahan tersebut menyebabkan gangguan pada ritme sirkadian (jam biologis tubuh) dan mengubah kronotipe seseorang menjadi tipe eveningness. Kronotipe seseorang berkaitan dengan durasi ritme sirkadian. Kronotipe morningness memiliki periode yang lebih singkat dibandingkan tipe eveningness, variasi amplitude, dan perubahan fase. tipe eveningness ekstrem cenderung mengalami perubahan fase circadian ke pagi hari dan harus beradaptasi dengan kebutuhan jam sosial. Pada kondisi ini, tidur, makan, sekolah, atau waktu bekerja mengalami misalignment  dengan waktu sirkadian internal tubuh. Desinkronisasi ini disebut dengan social jetlag, sebuah kondisi yang sering dikaitkan dengan merokok, depresi, dan obesitas.


Sistem irama sirkadian berperan dalam pengaturan fungsi fisiologi melalui siklus eksternal 24 jam. Sistem ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Hal tersebut dapat berubah dengan adanya sedikit cahaya dan kemudian disinkronisasikan. Irama sirkadian berperangaruh pada tingkah laku, kebiasaan, fungsi fisiologis, dan metabolisme tubuh melalui siklus terang-gelap. Proses fisiolohi ini memiliki jam biologisnya sendiri, tetapi selalu disinkronisasikan dengan perubahan cahaya yang disebut zeitgeber. Terdapat fase transisi yang penting dalam proses pengaturan irama sirkadian internal yaitu dawn twilight dan dusk twilightIrama sirkadian diatur melalui sensitasi zeitgeber untuk menyesuaikan waktu eksternal. Pada manusia, fase transisi ini terang-gelap ini sangat penting karena banyak proses fisiologis dan biokimia yang terjadi saat senja, contohnya penurunan konsentrasi melatonin plasma.

Sistem sirkadian akan berada dalam fasea antisipatif akibat perubahan intensitas cahaya matahari. Hal tersebut dapat berbeda di tiap daerah terutama yang memiliki musim dingin, proses transisi antara ritme internal dan eksternal tidak hanya sekali terjadi dan dapat meningkatkan risiko seasonal affective disorder. Simulasi perubahan intensitas cahaya secara gradual (redup) dapat menjadi upaya untuk mencegah hal itu. Dawn light harus diberikan secara bertahap (2.2 log10 lux/jam hingga 250 lux) selama kurang lebih 2 jam saat proses intervensi.  Pemberian intervensi ini dapat menurunkan insiden seasonal affective disorder dengan kecepatan yang sama dengan 250 lux dalam 30 menit (saat 5.30 pagi hingga 6 pagi)

Zeitgeber lain yang dapat mempengarhi sirkadian internal adalah social zeitgeber seperti aktivitas, kultur, dan interaksi sosial. Berdasarkan teori, gangguan zeitgeber sosial disebabkan oleh depresi. Disrupsi ritme sosial dapat mempengaruhi irama biologis seperti temperatur, hormon kortisol, dan melatonin. Stresor memicu hipotalamus memproduksi corticotrophin Releasing Hormone (RH) dan meningkatkan produksi hormon kortisol. Stresor juga mempengaruhi nuclei cereleus dan menstimulasi aktivitas simpatis sehingga produksi hormon norepinephrin meningkat. Stresor mem-blok aktivitas sistem kelenjar pineal dan raphe nuclei yang memproduksi hormon serotonin dan melatonin. Hormon tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis.

Skrining Infeksi Laten Tuberculosis (ILTB) dan Terapi Profilaksis Tuberkulosis (TPT)

Tuberkulosis merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Indonesia saat ini berada pada posisi ke-2 untuk kasus TB terbanyak di dunia. Perkiraan kasus TB di Indonesia sebanyak 969.000 kasus dengan notifikasi kasus 74% dan cakupan pengobatan 48% dan kesuksesan pengobatan 83%. Saat ini, upaya skrining infeksi tuberkulosis laten sedang digalakkan secara global. 

Infeksi TB laten merupakan infeksi tuberkulosis yang tidak menimbulkan gejala dikarenakan sistem imun tubuh mampu mengendalikan bakteri TB. Infeksi laten ini dapat menjadi infeksi aktif apabila kondisi imunitas tubuh kurang baik. Hal inilah yang perlu diupayakan untuk dicegah dan diberikan terapi preventif. Pada kondisi infeksi laten TB, akan ditemukan test mantoux (TST) positif meskipun pemeriksaan laboratorium (kultur/BTA) atau radiologi lainnya dinyatakan negatif TB. 

Infeksi tuberkulosis (TB) laten

Dalam upaya ILTB harus memperhatikan cascade of care ILTB. Populasi harus diidentifikasi secara umum dan dipastikan tidak menderita TB aktif. Target LTB diantaranya pasien dengan HIV positif, orang kontak serumah dengan TB aktif terkonfirmasi secara bakteriologis terutama anak dan remaja, kelompok risiko tinggi lainnya dengan HIV negatif (immunokompromise misalnya kanker, pengguna steroid jangka panjang), orang yang berada di wilayah atau tempat tinggal yang padat dan tertutup.

Salah satu pemeriksaan ILTB yang dapat dilakukan secara mudah adalah Tuberkulin test (TST) dengan cara menyuntikkan protein murni tuberkulin 0,1ml dan diidentifikasi adanya indurasi dalam 48 - 72 jam. TST positif apabila indurasi >15mm pada siapapun, >10mm pada orang dengan risiko tinggi tuberkulosis, dan >5mm pada kasus immunokompromise. Selain pemeriksaan TST, dapat juga dilakukan pemeriksaan IGRA untuk mengukur reaksi imun tubuh terhadap bakteri TB.Apabila positif ILTB segera diberikan terapi profilaksis (TPT).

TPT harus diberikan secara rutin sesuai panduan pemberian TPT pada ILTB. Setelahnya perlu dilakukan pemantauan secara rutin terhadap keteraturan TPT, efek samping TPT, dan juga manifestasi klinis yang mungkin muncul. 

Intermittent Fasting: Manfaat bagi Kesehatan, Metode, dan Tips untuk Hasil Optimal

Berbeda dengan kelaparan, puasa merupakan kegiatan tidak makan yang dikendalikan secara sadar dan tetap memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan tubuh. Mungkin kamu pernah mendengar di suatu waktu bahwa Fasting is the greatest remedy the physician within. Sudah banyak penelitian yang meneliti dan membuktikan pengaruh puasa bagi kesehatan tubuh. Selain penurunan berat badan, puasa juga diketahui memberikan efek awet muda baik secara fisik, mental, dan spiritual pada penelitian dengan hewan uji. Lalu bagaimana puasa dapat mempengaruhi tubuh?

MEKANISME PUASA INTERMITEN
Pada orang yang tidak puasa atau over-eating terjadi ketidakseimbangan di dalam tubuh yang memicu proses inflamasi. Selain itu, kadar insulin akan meningkat setelah makan sebagai upaya tubuh untuk menggunakan energi dari makanan dan menyimpan energi yang berlebihan. Proses ini dapat mengakitbatkan kegemukan akibat penyimpanan energi yang berlebih menjadi lemak. Kegemukan merupakan salah satu faktor risiko awal pemicu penyakit metabolik seperti diabetes, jantung koroner, dan lain sebagainya. 

Pada kondisi puasa, terjadi mekanisme yang sebaliknya. Kadar gula yang menurun didalam darah menurunkan produksi insulin tubuh dan memicu perombakan sumber energi lain (lemak, protein) untuk memenuhi kebutuhan energi sel tubuh. Salah satu jenis puasa yang sekarang ini menjadi trend adalah intermitten fasting. Puasa Intermiten adalah metode diet dengan cara mengatur pola makan dengan berpuasa selama waktu tertentu. Intermittent fasting diketahui banyak memberikan manfaat bagi kesehatan seperti menurunkan berat badan. 

Waktu intermittent fasting dan manfaatnya bagi kesehatan

Secara umum, berikut beberapa metode puasa intermiten yang dikenal, yaitu:

1. Metode 16/8
Metode ini merupakan metode yang paling populer. Metode ini dilakukan dengan pola 16 jam puasa dan 8 jam jendela makan. Cara ini hampir serupa dengan metode puasa ramadhan, hanya saja pada intermittent fasting bukanlah jenis dry fasting, artinya kita masih diperbolehkan untuk minum air. Puasa ini cocok untuk menurunkan berat badan karena saat berpuasa cadangan lemak akan dimetabolisme untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. 

2. Metode 5/2
Metode ini dikenal dengan metode diet cepat dan cukup unik karena dengan metode ini tubuh tidak benar-benar puasa. Metode ini dilakukan dengan mengukur porsi terbatas hingga kurang lebih 500-600 kalori perhari selama 2x/minggu. Metode 5/2 cukup mudah dilakukan karena selama 5 hari dalam seminggu kamu bisa makan seperti biasa tanpa perlu memikirkan pembatasan kalori.

3. Metode eat-stop-eat (alternate day fasting)
Metode satu ini adalah metode diet yang cukup ekstrim dan kurang cocok untuk pemula. Pada metode ini kamu akan berpuasa selama 1 - 2 hari penuh dalam 1 minggu dan makan seperti biasa pada hari tanpa puasa.

4. Metode warrior diet
Metode ini dilakukan dengan cara berpuasa pada siang hari dan makan porsi besar pada malah hari.

Untuk mendapatkan hasil dan manfaat puasa intermiten yang maksimal, ada baiknya untuk memilih dengan bijak metode yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan kemampuan tubuhnya. 

Imunisasi Dasar dan Imunisasi Kejar Pada Anak, Sudahkah? Cek Jadwal Lengkap Imunisasi Terbaru IDAI 2023

Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap berbagai risiko penyakit menular dan telah terbukti mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit karena infeksi (communicable diseases) pada anak. Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa, kondisi fisik termasuk sistem kekebalan tubuhnya masih belum sempurna sehingga cenderung berisiko mengalami atau tertular penyakit. Pada beberapa penyakit infeksi yang terjadi bisa berbahaya dan mengakibatkan kecacatan atau kematian misalnya polio dan pneumonia. Nah, imunisasi dapat membantu booster sistem imun anak menjadi lebih kuat dan tidak rentan tertular penyakit. Oleh karena itu, penting bagi Ibu untuk memenuhi imunisasi dasar bagi anak sesuai anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 

JADWAL IMUNISASI IDAI TERBARU 2023

Pada tahun 2023, IDAI melakukan pembaharuan guideline jadwal imunisasi bagi berusia 0 - 18 tahun. Berikut rekomendasi terbaru IDAI terkait imunisasi ini:

Jadwal imunisasi dasar dan imunisasi kejar pada anak
Jadwal imunisasi dasar dan imunisasi kejar pada anak

Lalu bagaimana jika anak belum mendapatkan imunisasi sesuai jadwal karena alasan tertentu misalnya anak sakit saat jadwal imunisasi? Ibu disarankan untuk segera melakukan imunisasi kejar pada anak sesuai anjuran saat anak sudah dalam kondisi sehat. Imunisasi kejar dapat diberikan secara terpisah atau bersamaan dengan vaksin lain, maksudnya anak bisa mendapatkan lebih dari 1 suntikan dalam waktu yang sama atau diberikan di waktu yang berbeda sesuai anjuran dokter. 

Si Manis yang Berbahaya: Dampak Konsumsi Gula Berlebihan terhadap Kesehatan

Kamu suka yang manis? Hmm, siapa coba yang bisa menolak sesuatu yang manis, ya kan? Sepertinya hampir mustahil untuk mayoritas orang. Apalagi makanan dan minuman yang memiliki rasa manis ini sudah menjadi favorit bagi banyak orang sejak lama. Bahkan saat ini, makanan dan minuman ini makin menjamur dan menjadi tren baru jajanan terutama bagi anak-anak dan remaja. Disadari atau tidak, di sekitar kita bisa dengan mudah ditemukan makanan dan minuman yang mengandung tinggi gula, misalnya softdrink, boba, thai-tea, kue, cookies, es krim, dan berbagai prduk olahan lain yang mengandung pemanis buatan. Favorit kalian yang mana?

Makanan dan minuman manis tidak hanya sekedar makanan dan minuman yang diberi tambahan gula, melainkan paling tidak mengandung sedikitnya 5% gula dalam proses pengolahannya. Ini juga termasuk bahan pemanis tambahan seperti sukroa, sirup fruktosa, dan konsentrat buah. Itulah kenapa, penting bagi kita untuk membaca komposisi gizi yang tertera disetiap produk kemasan.

Konsumsi gula berlebihan berdampak buruk bagi kesehatan

Fakta lain dari konsumsi makanan dan minuman manis ini adalah rasa "manis" bisa menimbulkan adiksi atau ketergantungan bagi penikmatnya layaknya alkohol atau rokok. Mungkin sebagian dari kalian pernah merasakan sulit untuk berhenti konsumsi "manis" meskipun sudah sangat bertekad. Rasa adiksi ini disebabkan oleh stimulasi produksi hormon dopamin yang dipicu si "manis". Jadi, tidak mengherankan jika pecinta makanan dan minuman manis makin tumbuh tidak terkendali dalam waktu singkat. Di Indonesia sendiri, konsumsi gula diperkirakan mencapai 11.8% dari total populasi pada tahun 2014. Bisa dibayangkan berapa jumlah kenaikannya saat ini mengingat semakin berjamurnya olahan manis saat ini. Bahkan saat ini, konsumsi olahan "manis" sudah menjadi kebiasaan yang sulit dipisahkan dan telah menjadi gaya hidup di dunia modern. Tapi sayangnya, kebiasaan ini belum diikuti dengan pemahaman masyarakat akan dampak makanan dan minuman manis yang mereka konsumsi. Jadi, kalau kamu termasuk fans berat dari si "manis" ini, mungkin beberapa fakta "pahit" yang tersembunyi dibalik kata "manis" ini bisa jadi pertimbangan kamu.

Makanan dan minuman yang mengandung gula ataupun pemanis lainnya telah terbukti menjadi salah satu faktor penyebab berbagai penyakit seperti karies gigi, obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, kanker, gangguan kognitif, penyakit ginjal, dan masih banyak lainnya. Gula, sama seperti garam dan lemak dapat menstimulasi bagian otak yang mengatur rasa "senang" melalui rangsang cepat di saraf sensoris. Proses ini akan menyebabkan rasa "ingin makan" yang tidak terkontrol dan akhirnya menyebabkan obesitas. Kebiasaan mengonsumsi gula akan menciptakan lingkungan yang cocok untuk timbulnya penyakit tidak menular seperti kanker, diabetes, penyakit jantung, stroke, dan akhirnya dapat meningkatkan risiko kematian.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa konsumsi gula sangat berkontribusi dalam peningkatan berat badan dengan cara meningkatkan deposisi lemak ke jaringan lemak viseral. Hal ini dapat meningkatkan konsentrasi trigliserida, menurunkan toleransi glukosa, dan insensitifitas insulin. Proses ini akan menganggu metabolisme gula darah dan meningkatkan risiko diabetes melitus. Dikonfirmasi juga bahwa orang yang minum minimal 1 minuman berkarbonasi setiap hari berisiko 44% lebih tinggi mengalami penyakit metabolik dibandingkan dengan mereka yang tidak.

Konsumsi gula berlebih juga menjadi faktor pencetus inflamasi tubuh. Inflamasi kronis sudah sejak lama diteliti berkaitan dengan obesitas, peningkatan massa lemak tubuh, dan penyakit metabolik. Konsumsi gula berlebihan akan menginduksi peningkatan produksi mediator inflamasi dan sitokin pro-inflamasi di berbagai jaringan yang akhirnya dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiometabolik. Konsumsi gula secara berlebih juga dapat meningkatkan permeabilitas intestinal, mengganggu komposisi mikrobiota di usus, dan meningkatkan faktor inflamasi ke hati. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan jaringan hati dan akhirnya berkembang menjadi penyakit hati non alkoholik.

Inflamasi yang diakibatkan oleh konsumsi gula melebihi rekomendasi dapat merusak hipokampus, sebuah area otak yang penting dalam proses belajar dan memori. Hal ini dapat meningkatkan risiko demensia. Dalam sebuah peneltian juga telah dikonfirmasi bahwa orang yang mengonsumsi gula >68.8gram per hari memiliki skor MMSE dan MoCA lebih rendah dibandingkan mereka yang mengonsumsi gula lebih rendah. Penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa konsumsi gula berlebih tidak hanya mempengaruhi kemampuan kognisi global tetapi juga memori verbal dan visual akibat adanya peningkatan gula darah dalam jangka waktu yang lama, neuroinflamasi, resistensi insulin, dan stress oksidatif yang mengganggu sinaps saraf. Selain itu, kadar glukosa yang tinggi juga berperan dalam ketidakseimbangan fungsi sistem imun dan kondisi patologis lainnya karena mengurnangi jumlah komponen limfosit.

Dikarenakan beberapa alasan diatas, konsumsi makanan dan minuman tinggi gula harus diminimalisasi. WHO merekomendasikan untuk membatasi konsumsi gula tidak lebih dari 10% dari total energi. Rekomendasi lainnya adalah membatasi konsumsi gula <5% dari total energi. Asosiasi Jantung Amerika (AHA) juga merekomendasikan untuk membatasi konsumsi gula menjadi 6 sendok teh pada wanita dan 9 sendok teh pada pria. Usaha pembatasan konsumsi gula dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah memahami sumber gula tersembunyi dengan melihat tabel nutrisi pada kemasan dan strategi substitusi gula. Meningkatkan konsumsi makanan sehat dan membatasi tipe makanan dan minuman tertentu juga bisa menjadi metode yang efektif.