Kesehatan Komprehensif: Hak Korban Bukan Sekedar Retorika

Realita Pahit Korban Kekerasan Seksual

Isu kekerasan seksual masih menjadi polemik tersendiri bagi Indonesia. Kasus kekerasan seksual seperti pencabulan anak-anak oleh aparat, pelecehan seksual di institusi pendidikan, ataupun pemerkosaan oleh anggota keluarga sering menjadi headline di surat kabar. Berita tersebut bahkan tak lagi menjadi kejutan, seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Sayangnya, alih-alih mendapat empati dan keadilan, komentar victim-blaming justru lebih banyak memenuhi thread viral yang membahas insiden tersebut.

Meskipun tidak terbatas pada gender, korban kekerasan seksual masih didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Menurut Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), dari 14.459 laporan kekerasan seksual di tahun 2024, 92% korban adalah perempuan. Dari total tersebut, 81% korban masih dibawah umur. Angka ini sudah seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengupayakan perlindungan yang lebih baik terutama bagi kelompok rentan.

Lebih dari sekedar keadilan hukum, penanganan kasus kekerasan seksual melalui pendekatan yang berorientasi pada kesehatan juga perlu menjadi prioritas, menjamin korban mendapatkan hak fundamental mereka untuk pulih secara holistik agar mampu kembali menjalani kehidupan yang mandiri, aman, dan bermartabat. Ironisnya, masih banyak korban yang tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga sulit mengakses layanan kesehatan yang layak untuk pemulihan mereka. Mereka kerap terbentur dengan rumitnya birokrasi, ketidakadilan hukum, stigma sosial, minimnya penyedia layanan kesehatan, hingga trauma berkepanjangan. Korban seakan dibungkam hingga akhirnya kehilangan hak-hak dasar mereka.

Kesehatan Komprehensif Bukan Sekedar Janji

Kekekerasan seksual tidak hanya berdampak pada luka fisik, tetapi juga mental dan sosial korban. Mereka berisiko mengalami penyakit menular seksual (PMS) hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Trauma yang berkepanjangan juga membuat korban lebih rentan terhadap perilaku berisiko seperti self-harm dan penyalahgunaan obat terlarang. Selain itu, minimnya dukungan sosial yang memihak korban dapat semakin memperburuk keadaan. Mengetahui hal tersebut, kebutuhan akan pemulihan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual menjadi urgensi yang tidak terelakkan. Tanpa pemulihan yang layak, korban hanya akan terluka untuk kedua kalinya.

Ilustrasi pelayanan kesehatan komprehensif

Pemulihan korban akibat kekerasan seksual merupakan hak mutlak sebagai wujud komitmen negara terhadap hak asasi manusia, bahkan sejak awal terjadinya tindakan kekerasan. Pemenuhan hak tersebut termasuk kemudahan akses terhadap layanan kesehatan komprehensif yang mencakup rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi, dan reintegrasi sosial Selain mengobati luka fisik dan mencegah komplikasi lebih lanjut, layanan tersebut juga berperan dalam mengembalikan kesejahteraan mental dan sosial sehingga korban mampu menjalani hidupnya secara optimal. Edukasi dan pendampingan juga menjadi aspek penting dalam membantu reintegrasi sosial korban dan mencegah kejadian serupa terulang kembali.

Meski hak pemulihan korban kekerasan seksual telah diatur dalam hukum nasional, implementasinya masih jauh dari ideal. Data KemenPPA menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan pada jumlah korban dalam mengakses layanan yang diberikan, hanya 25% korban mendapat layanan kesehatan, 3% rehabilitasi sosial, dan 1% reintegrasi sosial. Statistik ini menggambarkan masih buruknya akses korban terhadap hak-hak mereka. Hal tersebut juga mencerminkan kegagalan sistem dalam melindungi korban dari dampak berkepanjangan yang diakibatkan oleh kekerasan seksual.

Kebijakan tanpa implementasi yang efektif dan optimal hanya akan menjadi wacana tanpa memberikan dampak nyata terhadap korban. Masih minimnya tenaga kesehatan dan hukum yang memahami pendekatan kekerasan berbasis gender, persebaran penyedia layanan yang tidak merata, dan disintegrasi antar lembaga menjadi tantangan dalam menyediakan layanan yang tepat bagi korban. Selain itu, prasangka dan stigma sosial juga turut menjadi hambatan besar yang membuat korban enggan mencari bantuan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pendekatan dari berbagai aspek yang telibat: mengadakan pelatihan guna memperbanyak tenaga professional yang responsif terhadap korban, memperkuat sinergi dan koordinasi antara pemerintah, lembaga masyarakat, dan penyedia layanan termasuk layanan kesehatan, sosial, hukum. Sistem yang adil, inklusif, dan benar-benar memberdayakan korban harus dibuat guna mendukung upaya pemulihan yang efektif dan berkelanjutan.

Pemerintah, melalui kebijakan yang dibuat, bertanggungjawab dalam mengupayakan layanan pemulihan yang mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi atau syarat yang membebani. Namun, peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang ramah bagi korban juga turut berperan besar dalam keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Tanpa langkah nyata, hak korban hanya akan bertahan sebagai dokumen semata. Dengan upaya bersama dari pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat, hak-hak korban kekerasan seksual bukan lagi sekedar retorika, melainkan sebuah komitmen yang terwujud dalam kebijakan dan tindakan yang nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar