Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Mengenal Dwifungsi ABRI: Sejarah, Kejatuhan, dan Ancaman bagi Demokrasi

Dwifungsi ABRI adalah konsep yang pernah menjadi dasar peran ganda Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam pemerintahan Orde Baru. Konsep ini memberikan kewenangan kepada ABRI tidak hanya sebagai penjaga keamanan dan pertahanan negara, tetapi juga sebagai aktor politik dan sosial. Pada era Reformasi, konsep ini dihapus karena dianggap menghambat demokrasi dan berpotensi melahirkan pemerintahan yang otoriter. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, wacana kembalinya peran militer dalam ranah sipil kembali mencuat, menimbulkan kekhawatiran akan masa depan demokrasi di Indonesia.

Sejarah Singkat Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI pertama kali dicetuskan pada era Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno dan semakin mengakar di masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Konsep ini berakar dari doktrin bahwa militer bukan hanya alat pertahanan negara, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial dan politik untuk menjaga stabilitas nasional.

Pada praktiknya, Dwifungsi ABRI memberikan ruang bagi militer untuk masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, termasuk pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan. Perwira militer aktif dapat menduduki jabatan-jabatan strategis di kementerian, pemerintahan daerah, dan bahkan parlemen melalui mekanisme Fraksi ABRI di DPR.

Selama Orde Baru, keberadaan Dwifungsi ABRI menjadi alat politik yang menjaga stabilitas rezim Soeharto. Namun, hal ini juga menyebabkan minimnya kontrol sipil terhadap militer dan sering kali berujung pada pelanggaran hak asasi manusia serta penindasan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Bagaimana Dwifungsi ABRI Runtuh di Era Reformasi?

Krisis ekonomi dan politik yang memuncak pada 1998 menjadi titik balik bagi Indonesia. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipimpin mahasiswa menuntut reformasi di berbagai aspek kehidupan bernegara, termasuk di tubuh militer. Salah satu tuntutan utama Reformasi adalah penghapusan Dwifungsi ABRI, karena dianggap sebagai biang keladi dari otoritarianisme dan korupsi politik.

Pada tahun 1999, ABRI dipisahkan menjadi dua institusi, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan. Fraksi ABRI di DPR dihapuskan, dan militer dilarang terlibat dalam politik praktis. Sejak saat itu, militer diharapkan kembali ke fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara di bawah kontrol sipil.

Bahaya yang Mengintai Demokrasi Jika Dwifungsi ABRI Kembali

Meskipun reformasi telah membatasi peran militer dalam politik, dalam beberapa tahun terakhir muncul berbagai upaya yang mengindikasikan adanya kembalinya peran militer dalam ranah sipil. Beberapa pejabat pemerintah memberikan sinyal dukungan terhadap peran TNI dalam mengelola masalah-masalah sipil, seperti ketahanan pangan, pembangunan infrastruktur, dan bahkan kebijakan keamanan dalam negeri.

Kembalinya Dwifungsi ABRI dalam bentuk apa pun dapat membawa berbagai dampak negatif bagi demokrasi, di antaranya:

  • Melemahkan Kontrol Sipil terhadap Militer

Dalam negara demokrasi, militer harus berada di bawah kontrol sipil untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika militer kembali memiliki peran politik, maka pengawasan terhadap mereka akan melemah, membuka peluang bagi tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang.  

  • Ancaman terhadap Kebebasan Sipil dan HAM

Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam politik sering kali berujung pada tindakan represif terhadap kelompok oposisi dan aktivis. Jika militer kembali ke arena politik, maka potensi pembungkaman kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM bisa meningkat.

  • Penggunaan Militer untuk Kepentingan Politik

Jika tentara kembali diperbolehkan masuk ke dalam pemerintahan, ada risiko bahwa mereka akan digunakan oleh pihak tertentu untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini bisa mengarah pada politik yang tidak demokratis, di mana pemimpin sipil menggunakan militer untuk mengamankan kekuasaannya, seperti yang terjadi di era Orde Baru.

  • Menghambat Profesionalisme Militer

Tugas utama militer adalah mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman eksternal. Jika mereka kembali terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan, fokus dan profesionalisme mereka sebagai alat pertahanan negara akan terganggu. Hal ini justru dapat melemahkan kemampuan mereka dalam menghadapi ancaman yang sebenarnya.

Ilustrasi dwifungsi abri yang menggambarkan dua sisi peran militer: sebagai penjaga keamanan dan sebagai aktor dalam pemerintahan sipil

Dwifungsi ABRI adalah konsep yang telah terbukti lebih banyak merugikan demokrasi daripada mendukung stabilitas negara. Reformasi 1998 telah berhasil menghapuskan peran ganda militer dalam politik, mengembalikan mereka ke fungsi utama sebagai penjaga pertahanan negara.

Namun, tanda-tanda kembalinya keterlibatan militer dalam urusan sipil patut menjadi perhatian. Jika Dwifungsi ABRI dihidupkan kembali, maka demokrasi Indonesia berisiko mengalami kemunduran, dengan meningkatnya kontrol militer terhadap pemerintahan, melemahnya kebebasan sipil, dan terbukanya peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan.

Sebagai masyarakat yang menikmati hasil reformasi, kita perlu waspada dan terus mengawal jalannya demokrasi agar tidak kembali ke era otoritarianisme. Militer yang kuat adalah militer yang profesional dan tunduk pada supremasi sipil, bukan yang terlibat dalam politik praktis.

Jadi, bagaimana pendapat kamu tentang kemungkinan kembalinya Dwifungsi ABRI? Yuk, diskusikan!